Selamat datang kembali di Commercesation segment eCommerce101.
Segmen eCommerce101 ini adalah segmen yang akan membimbing teman teman untuk bisa memulai bisnis eCommerce-nya secara komprehensif atau menyeluruh.
Jadi komprehensif atau menyeluruh atau holistik, jadi tujuan dari segmen ini adalah menciptakan pebisnis eCommerce yang ga cuma asal jual aja, tapi paham sampe ke tulang tulangnya, bahkan sampai ke DNA-nya.
Part sebelumnya kita membahas tentang sejarah eCommerce, dari eCommerce yang berdasarkan jaringan lokal, yang semi analog, sampai yang tercatat betul betul full online di tahun ‘94 dengan pembayaran menggunakan kartu kredit.
Part sebelumnya lagi, lebih filosofis, kita membahas tentang apa itu jual beli.
Mungkin temen temen udah mulai ada gambaran tentang apa itu eCommerce—What the eCommerce is.
Nah sekarang kita akan membahas tentang hal yang tidak kalah penting, yaitu Perubahan Perilaku Konsumen.
Lagi lagi masih belum masuk ke teknis eCommerce kan?
Perilaku konsumen ini adalah variabel yang sangat dinamis, karena objeknya itu manusia sebagai konsumen, nyaris tidak ada satu entitas pun yang bisa mengetahui kemana arah perubahan perilaku manusia kedepannya.
Kalaupun ada itu sifatnya prediktif berdasarkan analisa teknis atau analisis empiris dari trend sebelumnya, karena, kan, manusia makhluk yang berpikir ya, dia bisa berubah kalau memang ada trigger atau pemicu yang membuatnya berubah.
Nah pola hidup atau pola belanja manusia ini bisa diatur atau didorong dengan beragam hal, seperti : perubaha kondisi ekonomi, kondisi sosial, lingkungan, dsb.
Misalnya gini, kondisi ekonomi segmen masyarakat tertentu bisa menentukan berapa biaya yang mereka habiskan dalam sebulan, kaya belakangan ini lagi ada trend segmen kelas menengah di Indonesia yang jumlahnya semakin berkurang, artinya akan berdampak ke uang yang mereka keluarkan untuk berbelanja.
Kondisi sosial juga, misalnya secara sosial dia “dituntut” untuk tampil lebih elegan, atau orang yang dipandang itu akan mempengaruhi pola belanja seseorang atau cara dia melihat fungsi atau tujuan suatu benda.
Nah termasuk diantaranya teknologi.
Kehadiran teknologi itu mendorong orang untuk merubah cara mereka melakukan jual beli.
Esensinya (sebagaimana yang sudah kita bahas di bagian pertama) itu kan exchange value atau pertukaran nilai, namun terjadi pergeseran, dari hubungan yang analog sampai akhirnya bertransformasi menjadi hubungan berbasis digital.
Nah kita akan bahas pola perubahan perilaku dari sisi konsumen ini pada part 3 atau bagian 3 dari segmen eCommerce101 ini.
Era Analog
Nah sekarang kita mulai dari interaksi analog yang terjadi dari sudut pandang pembeli saat ingin membeli sesuatu.
Saya mau ajak temen temen untuk mundur, ini kalau yang generasi milenial atau di atasnya ya, kalau generasi Z ke atas, saya minta teman teman untuk membayangkan aja
Coba kita flashback atau bayangkan saat di mana dulu kita belum ada internet, dan kita ingin membeli sesuatu, kemana kita perginya?
Pertama-tama, kita akan mencari referensi kemana kita harus pergi.
Bisa tiba tiba langsung ke pasar aja di mana tempat semua orang berjualan ngumpul di situ, atau meminta rekomendasi.
Kita mungkin akan bertanya ke orang tua kita, ke teman, ke tetangga dan orang lain yang mungkin bisa kita percaya.
—”Mau beli gantungan kunci tapi bisa custom sendiri itu dimana ya pak?”
Orang akan memberikan rekomendasi berdasarkan apa yang dia pernah lihat atau yang dia tau, baik itu dari papan reklame, plang toko yang ada di jalan, atau memang mereka berpengalaman pernah melakukan hal tersebut.
—”Oh di koko cina situ tuh, samping pabrik situ, ada belokan dikit, dia langganan bapak, dia bisa tuh”
Gitu kan
Baru akhirnya kita datang ke toko tersebut, dan baru terjadi transaksi, itupun kalau memang benar cocok dengan kebutuhan kita, kalau enggak cocok, ya kita cari lagi yang sesuai.
Atau kalau tanpa rekomendasi, kita bisa langsung tiba tiba ke pasar untuk mendatangi semua toko yang mungkin menjual apa yang kita butuhkan, sampe ketemu barang yang cocok dengan harga yang cocok juga.
Itu era analog, saat orang belum banyak terpapar informasi, sumber informasinya ya dari situ situ aja, dari rekomendasi orang, dari papan iklan, dsb.
Poin apa yang bisa diambil dari perilaku atau behaviour pembeli di era analog ini?
- Informasi terbatas :
- Seperti yang tadi saya sampaikan, keterpaparan kita terhadap informasi sangat sangat terbatas, referensi kita hanya dari pendapat orang terdekat, atau papan reklame atau majalah, jadi informasi mengenai produk hanya pada tempat tempat seperti itu.
- Jarak terjangkau:
- Selain terbatas, jangkauan kita untuk mendapatkan item yang kita butuhkan mungkin juga tidak terlalu jauh.
- Setia:
- Nah poin terakhir ini manis, tapi ga manis manis amat sebenernya. Pada jaman analog orang akan “setia” pada sebuah toko, makanya ada istilah “harga langganan” supaya kita datang lagi ke mereka.
Jadi karena informasi terbatas, kita juga cenderung mencari pada zona nyaman alias yang terdekat dan terjangkau, akhirnya kita setia terhadap entitas bisnis tersebut.
Sampaiii akhirnyaaaa internet muncul dan pelanggan pelanggan setia itu perlahan mulai menghilang satu demi satu
Kemana mereka?
Era Transisi Analog ke Digital
Nah kita tidak langsung loncat ke digital, karena pastinya akan ada fase transisi.
Fase transisi ini dimulai saat internet sudah masuk ke rumah rumah baik itu dalam bentuk jaringan telepon pribadi, atau melalui warnet.
Pokoknya momen di mana internet sudah mulai dikenal, nah mungkin belum banyak yang menyangka internet sebagai ancaman bagi bisnis, ternyata dalam 10 tahun atau bahkan kurang dari itu, pelanggan pelanggan setia itu mulai menghilang.
Kemana mereka?
Mereka ternyata mengetahui kalau ada tempat lain yang menjual produk yang sama dengan yang kita jual dengan harga yang lebih terjangkau, ada toko yang ternyata menjual varian yang lebih lengkap.
Dari mana?
Ya, dari Internet. Mungkin Yahoo atau Google lebih tepatnya.
Orang tidak lagi bertanya ke orang tuanya, ke tetangganya, ke kerabatnya lagi untuk mencari sesuatu, melainkan ke mesin pencari, Yahoo dan Google.
Mulai banyak bisnis yang memiliki entitas digital sepeti website dan sosial media.
Jangan dibayangkan sosial media seperti sekarang ya, contohnya mungkin seperti Forum atau komunitas online, wah itu dulu solid banget.
Kalau temen temen inget, pada masa itu ada yang namanya FJB Kaskus atau Forum Jual Beli dari sosial media yang namanya KasKus, itu banyak orang melakukan review di sana terkait produk yang mungkin sedang kita butuhkan.
Atau ada juga Blogger yang mengulas atau me-review dalam bentuk tulisan di blog internet tentang resto, hotel, produk tertentu atau apapun yang sudah pernah dia gunakan.
Calon pembeli seperti sudah mengetahui dengan detail informasi dari produk yang dia beli, baik itu referensi modelnya, toko mana saja yang menjual, dan bahkan referensi rentang harganya, istilahnya yaitu “Informed Buyer”.
Jaman itu eCommerce belum masuk secara menyeluruh, jadi masih sebatas informasi saja, jadi masih menjadi aktifitas yang, seperti di sampaikan di awal, masih transisi, jadi mungkin 50:50 antara online dan offline.
Sampai akhirnya eCommerce masuk dan membuat aktifitas jual beli secara digital ini semakin masif.
Era Digital
Nah setelah internet semakin luas penggunaannya, kemudian eCommerce menjadi aplikasi yang mesti ada di setiap smartphone, perilaku pelanggan juga berubah.
Nyaris berubah 180 Derajat dari analog, karena sejak adanya internet dan masifnya eCommerce, lokasi bukan lagi menjadi halangan.
Informasi sudah mudah sekali diakses, bukan hanya diakses malah, kadang kita ygn terpapar informasi dengan sendirinya.
Mengakses internet di era digital ini sudah tidak perlu lagi ke warnet atau komputer lagi, melainkan menggunakan smartphone.
Smartphone menjadi alat yang nyaris ga mungkin lepas, ibaratnya mending ketinggalan dompet daripada ketinggalan smartphone, kan?
Hampir semua kebutuhan kita sudah terpenuhi dari smartphone, termasuk keseluruhan proses transaksi.
Lokasi sudah lagi ga jadi penghalang, orang yang berjualan di Surabaya bisa dapat customer di Jakarta, orang di Papua bisa beli produk dari Jakarta, kok mereka saling tau?
Nah internet lah yang berperan penting dalam menjembatani transaksi lintas pulau dan zona waktu tersebut.
Dan keberadaan smartphone ini gila banget. Dari mulai terpapar iklan, berinteraksi dengan sosial media dari brand tertentu, sampai melakukan checkout, bahkan sampai pembelian itu semuanya terasa mulus, seamless tanpa kesulitan sedikitpun.
Durasi waktu dari kita ingin membeli sesuatu sampai akhirnya terbayar, itu mungkin bisa kurang dari 10 menit.
Nah, dengan tempo yang secepat ini, akhirnya kita mengenal perilaku pembelian impulsif, atau stimulasi pembelian— dari yang awalnya ga mau beli, jadi kebutuhan— wants jadi needs— Desire jadi necessity.
Siapa yang akhirnya memegang peranan penting dalam menstimulasi proses terjadinya transaksi?
—Jawabannya adalah mereka yang sering tampil dan punya power untuk mempengaruhi orang untuk membeli.
- Mereka yang sering tampil di sini maksudnya adalah para pebisnis atau pengiklan di sosial media, jadi mereka mengiklankan bisnsinya di sosial media.
Semakin sering mereka tampil, semakin banyak testimoni, semakin banyak opsi pembayaran (termasuk COD) yang tersedia, maka akan semakin mudah mereka dalam mendapatkan penjualan.
- Satu lagi yaitu pemengaruh, atau dikenal dengan influencer. Karena mereka masif banget di sosial media, dan .. ehm.. para pengikutnya percaya kalau kehidupan mereka itu nyata di sosial media, akhirnya mereka punya power untuk mempengaruhi orang untuk membeli produk yang mereka promosikan.
Nah dari Era digital ini membuat pola berbelanja kita sama sekali berubah. Kita sudah ber-revolusi menjadi manusia modern.
Bahkan, dalam kasus tertentu, rumus “exchange value” sudah tidak berlaku, karena mereka sudah tidak memandang value dari produk, tapi as long as itu direkomendasikan oleh influencer atau gencar sekali iklannya di sosial media, maka mereka akan membelinya.
Mungkin saya pernah cerita ya kalau saya pernah transaksi nyaris 1M secara online, tanpa saya tau atau kenal wajah dari pembeli saya itu seperti apa.
Modal kita udah sama sama yakin aja tuh
Bayangkan, behaviour shifting atau pergeseran kebiasaan itu bisa sebesar itu, dari analog yang penuh dengan tatap muka dan interaksi verbal, menjadi digital dan interaksi tekstual.
Gila ya?
Nah, apa yang bisa kita pelajari dari perubahan perilaku berbelanja dari analog ke digital ini?
Kesimpulan
- Perubahan ada keniscayaan. Nyaris tidak ada yang abadi, apalagi di dalam lingkup yang penuh ketidak pastian seperti bisnis, mereka yang tidak mau beradaptasi-lah yang kalah.
- Kebiasaan masyarakat bergeser dari yang memilih berbelanja hanya di lokasi yang terjangkau, menjadi tidak lagi berbatas,
- dari yang interaksi verbal menjadi interaksi tekstual menggunakan platform eCommerce.
- Dari yang membeli berdasarkan kebutuhan menjadi keinginan.
- Dari yang menimbang untuk membeli berdasarkan value, menjadi membeli berasaskan FOMO atau takut keburu tidak viral lagi.
- Dari membeli berdasarkan rekomendasi orang dekat, menjadi rekomendasi influencer yang mungkin tidak semuanya bisa kita percaya.
- Dari pelanggan setia karena tidak ada pilihan lain, menjadi pelanggan yang bisa bergeser kalau ada toko yang menawarkan penawaran yang lebih baik.
- Internet bergerak sangat cepat, bahkan terlalu cepat untuk mereka yang enggan untuk belajar. Bahkan sampai saat ini para penjual online pun masih harus belajar menaklukkan algoritma dan beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat.
- Berbisnis mungkin sudah bukan lagi bersaing mana yang paling lama berdiri atau yang paling memiliki autentisitas, melainkan mana yang paling sering tampil di platform manapun para calon pembeli berada.
…
Oke, mungkin itu aja bagian 3 di eCommerce101 kali ini, sampai jumpa di bagian selanjutnya.
Terima kasih.